Visemedia.id | Bulan September sering kita kenal sebagai penanda pergantian musim—antara hujan yang mulai merintik dan panas yang perlahan menepi. Namun, di balik kalender biasa, bulan September juga menyimpan jejak sejarah yang sakral dalam denyut perjalanan bangsa.
Dua tokoh bangsa yang sama-sama dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, KH. Hasyim Asy’ari dan cucunya KH. Abdurrahman Wahid, dipertautkan dengan bulan ini: sang kakek wafat pada tanggal 7 September 1947, sedangkan sang cucu lahir pada tanggal 7 September 1940.
Mereka berdua bukan hanya tokoh besar Nahdlatul Ulama, tapi juga pilar bangsa. Dan uniknya, sejarah Indonesia mencatatkan sesuatu yang sangat langka: tiga generasi berturut-turut dari satu garis keluarga diakui sebagai Pahlawan Nasional—Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, anak KH. Wahid Hasyim, dan cucunya KH. Abdurrahman Wahid. Hampir mustahil menemukan kejadian serupa dalam sejarah bangsa lain.
Sebuah ironi sekaligus isyarat ilahiah: satu generasi berpulang, generasi berikutnya hadir. Satu menutup bab perjuangan, yang lain membuka bab baru peradaban. Seakan waktu sendiri menjadi saksi estafet kepemimpinan ulama, bahwa api persahabatan tak boleh padam meski jasad berganti.
—
KH. Hasyim Asy’ari: Ulama, Pesantren, dan Api Perlawanan
KH. Hasyim Asy’ari dikenang dengan tinta emas sejarah. Beliau peletak dasar kemerdekaan Indonesia, dengan mencerdaskan dan mempersatukan kaum bersarung melalui pesantren, lalu mengobarkan Resolusi Jihad demi mengusir kolonialisme Belanda dan Jepang. Pesantren Tebuireng yang beliau dirikan menjadi kawah candradimuka lahirnya santri-santri tangguh, bukan hanya menguasai kitab, tapi juga siap menjadi benteng bangsa.
Dengan visi yang jauh melampaui zamannya, KH. Hasyim mempersatukan umat dalam wadah Nahdlatul Ulama. Dari NU lahirlah solidaritas kebangsaan, dari surau dan pesantren lahirlah semangat jihad fi sabilillah yang menolak tunduk pada tirani kolonial.
Pada masa pendudukan Jepang, dia dipenjara karena menolak ritual Seikerei—membungkuk hormat kepada Kaisar Jepang. Bahkan ketika Jepang menawarkan garansi dengan syarat ia bersedia diangkat sebagai Shumubuchō (Kepala Jawatan Agama, sebelumnya dijabat Kolonel Horie), KH. Hasyim menolaknya. Bagi beliau, persetujuan pada penjajah dan pertukaran harga diri ulama dengan jabatan adalah bentuk kehinaan.
Di balik jeruji besi itulah, KH. Hasyim menjadikan penjara sebagai madrasah batin. Setiap hari beliau khatam Al-Qur’an dan mengaji Shahih Bukhari, menjadikan lantunan ayat dan hadis sebagai wirid sekaligus senjata melawan keputusasaan. Doa-doa yang dipanjatkan dari balik sel yang pengap justru membangkitkan semangat para santri dan umat di luar penjara, bahwa perjuangan tidak pernah mati meski tubuh sang kiai terbelenggu.
Puncaknya, lahirlah Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang menyulut api perlawanan di Surabaya. Dari doa dan seruan beliau, darah para santri tumpah menjadi harga mahal bagi kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya, di tengah agresi militer Belanda, beliau berpulang pada tanggal 7 September 1947—sebuah penegasan bahwa ulama berjuang hingga detik terakhir, menyerahkan hidup dan mati untuk agama dan bangsa.
—
Gus Dur: Humor yang Menjadi Revolusi
Tepat tujuh tahun sebelum kakeknya berpulang, Gus Dur lahir ke dunia—7 September 1940. Ia tumbuh dengan kitab pesantren, buku filsafat, wacana demokrasi, bahkan sastra Barat yang memperluas cakupannya. Bila KH. Hasyim membakar semangat jihad melawan penjajah asing, Gus Dur menyalakan kesadaran bangsa melawan rezim otoriter di negeri.
Greg Barton dalam biografinya menyebut Gus Dur sebagai “sang pendamai yang hebat”—sang pendamai besar. Ia mampu menjembatani antara Islam tradisional dengan nasionalisme Indonesia, antara pesantren dengan demokrasi. Dengan NU, ia mengajarkan bahwa Islam tidak berseberangan dengan negara, melainkan pilar yang menguatkan bangsa.
Melalui NU dan forum-forum demokrasi, Gus Dur menjadi motor reformasi. Ia membela kebebasan pers, mengungkap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan menegakkan hak-hak minoritas. Ia berani mengkritik Orde Baru ketika banyak tokoh memilih diam. Baginya, kekuasaan bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dibanggakan. “Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah manusia yang dizalimi,” tegas Gus Dur—sebuah kalimat yang menggetarkan sekaligus menegaskan arah perjuangannya.
Namun, ironi sejarah menimpa. Reformasi yang ia buka justru membentuk dirinya sendiri. Gus Dur turun dari kursi presiden pada tahun 2001, meski sejarah mencatatnya sebagai presiden yang memberi napas baru bagi demokrasi. Filosofi kehidupan yang sederhana terus menggema: “Tidak penting apa agamamu dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agamamu.”
—
Ironi Politik: Dari Paman ke Ponakan
Setelah lengser, Gus Dur tetap menjadi guru bangsa. Namun, politik kerap penuh paradoks. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ia dirikan akhirnya diambil alih oleh ponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar. Bagi banyak orang, hal itu mungkin terlihat sebagai penghinaan. Tetapi bagi Gus Dur, hal itu justru dibaca bisa sebagai bukti hebatnya didikan seorang paman pada keponakannya: kader yang lahir dari rahimnya mampu berdiri tegak, bahkan mendudukinya.
Kekalahan itu bukan kehinaan, melainkan warisan. Gus Dur mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati adalah melahirkan generasi yang berani tampil, bahkan jika itu berarti menggeser posisi sang guru. “Gitu aja kok repot,” ucapnya dengan khas—humor yang ringan tapi dalam, mengajarkan agar bangsa ini tak kehilangan nalar sehat dalam menghadapi konflik politik.
—
Penutup: Wasiat September
Dari KH. Hasyim Asy’ari kita belajar tentang keberanian melawan penjajahan. Dari Gus Dur kita belajar tentang kebahagiaan dalam merangkul kemanusiaan. Keduanya sama-sama lahir dan berpulang dalam bulan yang sama—September—seakan Allah memberi tanda bahwa perjuangan itu estafet, tak selesai di satu generasi.
Bangsa ini lahir dari darah para santri dan doa para kiai. Ia dibesarkan oleh humor getir Gus Dur yang cenderung keangkuhan penguasa. Bila kita ingin Indonesia tetap utuh, semangat keduanya harus terus dihidupkan: keberanian melawan tirani dalam wujud apa pun, dan kemanusiaan yang merangkul semua dalam bingkai persaudaraan.
September pun menjadi penanda, bahwa sejarah bukan sekedar deret tanggal, melainkan wasiat kebangsaan yang harus kita jaga bersama.
Penulis : Muhamad Roby Ketua Tanfidziyah PCNU Kab. Serang adalah calon wawasan lepas yang gemar merangkai sejarah dengan bahasa sastra. Ia menelusuri arsip dan kisah rakyat untuk menjadikan sejarah cermin bagi masa kini.